Kebobrokan PT FI

KASUS PELANGGARAN ETIKA (PERUSAHAAN)
Kebobrokan PT FI

PT FI, adalah potret nyata sektor pertambangan Indonesia. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya kondisi lingkungan dan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan terus memburuk dan menuai protes akibat berbagai pelanggaran hukum dan HAM (salah satu berita dapat diakses dari situs news.bbc.co.uk), dampak lingkungan serta pemiskinan rakyat sekitar tambang.
WALHI sempat berupaya membuat laporan untuk mendapatkan gambaran terkini mengenai dampak operasi dan kerusakan lingkungan di sekitar lokasi pertambangan PT FI.Hingga saat ini sulit sekali bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jelas dan menyeluruh mengenai dampak kegiatan pertambangan skala besar di Indonesia. Ketidak jelasan informasi tersebut akhirnya berbuah kepada konflik, yang sering berujung pada kekerasan, pelanggaran HAM dan korbannya kebanyakan adalah masyarakat sekitar tambang. Negara gagal memberikan perlindungan dan menjamin hak atas lingkungan yang baik bagi masyarakat, namun dilain pihak memberikan dukungan penuh kepada PT FIyang dibuktikan  dengan pengerahan personil militer dan pembiaran kerusakan lingkungan.
Dampak lingkungan operasi pertambangan skala besar secara kasat mata pun sering membuat awam tercengang dan bertanya-tanya, apakah hukum berlaku bagi pencemar yang diklaim menyumbang pendapatan Negara? Matinya Sungai Aijkwa, Aghawagon dan Otomona, tumpukan batuan limbah tambang dan tailing yang jika ditotal mencapai 840.000 ton dan matinya ekosistem di sekitar lokasi pertambangan merupakan fakta kerusakan dan kematian lingkungan yang nilainya tidak akan dapat tergantikan. Kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar lokasi PT FI juga mencerminkan kondisi pembiaran pelanggaran hukum atas nama kepentingan ekonomi dan desakan politis yang menggambarkan digdayanya kuasa korporasi.

Laporan WALHI Tentang Dampak pencemaran Lingkungan Hidup Operasi Freeport-Rio Tinto di Papua
Laporan yang berjudul Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas F-R.T di Papua adalah laporan yang menyajikan gambaran tentang keberadaan Freeport yang independen mengenai dampak lingkungan akibat tambang F, sebuah usaha bersama F MMR dan R.T, yang meski merupakan salah satu tambang terbesar di dunia, beroperasi di bawah selimut rahasia di daerah terpencil Papua.
Laporan ini memaparkan kerusakan lingkungan berat dan pelanggaran hukum, berdasar sejumlah laporan pemantauan oleh pemerintah dan perusahaan yang tidak diterbitkan, termasuk Pengukuran Risiko Lingkungan (Environmental Risk Assessment, ERA) yang dipesan F-R.T dan disajikan pada pemerintah Indonesia meski tak dipublikasikan untuk umum. Dalam laporan, masalah-masalah berikut ini dibahas, dan ditutup dengan saran untuk aksi.
Pelanggaran hukum:  
Temuan kunci pada laporan ini adalah F-RT telah gagal mematuhi permintaan pemerintah untuk memperbaiki praktik pengelolaan limbah berbahaya terlepas rentang tahun yang panjang di mana sejumlah temuan menunjukkan perusahaan telah melanggar peraturan lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup tak kunjung menegakkan hukum karena F-RT memiliki pengaruh politik dan keuangan yang kuat pada pemerintah. Begitu kuatnya sampai-sampai proposal F-RT untuk mengelak dari standard baku mutu air sepertinya sedang dipertimbangkan.
  • Pelanggaran dan pencemaran lingkungan
  • Tembaga yang dihamburkan dan pencemaran
  • Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage)
  • Teknologi yang tak layak
  • Pembekapan tanaman
  • Tingkat racun tailing dan dampak terhadap perairan
  • Logam berat pada tanaman dan satwa liar
  • Perusakan habitat muara
  • Kontaminasi pada rantai makanan di muara
  • Gangguan ekologi
  • Dampak pada Taman Nasional Lorenz
  • Regenerasi di Daerah Tumpukan Tailing
  • Transparansi
      Pendapat saya menggenai pelanggaran yang dilakukan oleh PT. FI ini sudah tidak manusiawi sekali. Mulai dari pengerusakan alam, pencemaran lingkungan, hingga penelantaran para buruh-buruh kecil. Semestinya menjaga lingkungan sekitar pertambangan adalah kewajiban dari PT FI itu sendiri karena PT FI telah memanfaatkan isi perut bumi yang harusnya dilestarikan.
Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2007 pasal 74 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Undang-Undang No. 25 tahun 2007 pasal 15(b) dan pasal 16 (d) tentang Penanaman Modal (UU PM), setiap perseroan atau penanam modal diwajibkan untuk melakukan sebuah upaya pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan yang telah dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan. Kebijakan ini juga mengatur sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban tersebut.
Ataupun PT FI ini tidak memiliki Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) yang dimana berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang di antaranya adalah konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana suatu organisasi, terutama perusahaan, dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan dampaknya dalam aspek ekonomi, misalnya tingkat keuntungan atau deviden, melainkan juga harus menimbang dampak sosial dan lingkungan yang timbul dari keputusannya itu, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka yang lebih panjang. Dengan pengertian tersebut, CSR dapat dikatakan sebagai kontribusi perusahaan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan dengan cara manajemen dampak (minimisasi dampak negatif dan maksimisasi dampak positif) terhadap seluruh pemangku kepentingannya.
Oleh karena itu pemerintah dan pengusaha asing harusnya lebih menjaga dan memikirkan jangka panjang dalam mengambil aset nusantara. Karena kalimantan sudah lama diketahui memiliki kekayaan tambang yang banyak menjadi incaran para perusahaan asing.